Orang-Orang Biasa yang Bangkit dan Mengguncang Dunia

Titiknalar
24 Apr 2025 03:25
Esai 0 14
2 minutes reading

“Perlawanan bukan sekadar turun ke jalan. Ia dimulai dari keberanian untuk berkata tidak, untuk bertanya “mengapa,” dan untuk tidak percaya begitu saja pada janji-janji kekuasaan.”

Di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, sekelompok ibu-ibu mengenakan kebaya, duduk diam dalam aksi protes, kaki mereka disemen hingga mengeras. Mereka bukan aktivis LSM, bukan tokoh terkenal. Mereka hanya petani—perempuan desa yang hidupnya bergantung pada sawah, ladang, dan sumber air pegunungan karst. Ketika perusahaan semen datang hendak menambang dan mengeringkan mata air mereka, para ibu ini menolak tunduk. “Kami adalah bumi,” kata mereka. “Kalau kami diam, siapa yang akan menjaga air?”

Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya di Kenya, seorang perempuan bernama Wangari Maathai menanam pohon satu demi satu. Ia tahu hutan yang dibabat bukan hanya hilangnya daun, tapi musnahnya kehidupan. Ia mengajak perempuan desa menanam dan merawat bumi—gerakan sederhana yang kemudian berubah menjadi gerakan nasional. Ia dihina, dipukuli, dipenjara. Tapi ia tidak berhenti. Gerakan Green Belt Movement yang ia dirikan berhasil menanam lebih dari 30 juta pohon. Ia menjadi perempuan Afrika pertama yang meraih Nobel Perdamaian.

Di Honduras, Berta Cáceres, seorang aktivis dari suku Lenca, melawan pembangunan bendungan yang mengancam sungai suci komunitasnya. Ia memimpin perlawanan masyarakat adat tanpa senjata, hanya dengan suara dan tekad. Ia tahu hidupnya terancam, namun ia terus berbicara. “Bangun dan bangkit,” katanya, “karena saat kita diam, mereka akan menghapus kita dari peta.” Ia akhirnya dibunuh di rumahnya sendiri. Tapi kematiannya justru menjadi bara api yang menyebar ke seluruh dunia.

Kita tidak perlu melihat jauh untuk menemukan nyala itu. Di Riau, Indonesia, para petani dan tokoh adat terus berjuang mempertahankan tanah ulayat dari ekspansi perusahaan sawit. Banyak yang tak terdengar di media, namun perjuangan mereka membentuk jaringan bawah tanah kesadaran. Mereka mendirikan koperasi tani, menolak menyerahkan lahan, menghidupkan kembali musyawarah adat, dan menanam hutan rakyat. Di balik semua itu, ada semangat yang sama: politik bukan milik elite. Ini tentang hidup kita.

Perlawanan Adalah Bentuk Tertinggi dari Kesadaran

Mereka tidak memulai perjuangan sebagai pahlawan. Mereka hanya ingin bertahan hidup. Tapi di tengah krisis, keberanian orang biasa menjadi api yang menyala. Perlawanan bukan sekadar turun ke jalan. Ia dimulai dari keberanian untuk berkata tidak, untuk bertanya “mengapa,” dan untuk tidak percaya begitu saja pada janji-janji kekuasaan.

Kita diajarkan untuk percaya bahwa hanya mereka yang punya jabatan yang bisa menentukan masa depan. Tapi sejarah membantahnya. Masa depan ditentukan oleh orang biasa yang memilih untuk tidak tunduk, yang merangkai suara menjadi gerakan. ***

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *